Ketika
saya pulang ke rumah paman saya,yang berada jauh dari pusat kota.Saya
bertemu dengan teman lama saya.Kami lama tidak bertemu karena memang
saya jarang pulang,akhirnya kami berbincang bincang.Saat telah lama
bercengkrama,saya melihat ia menggunakan HP yang menurut saya cukup
mahal,yang tentunya memiliki segudang fitur yang
mendukungnya.Sepengetahuan saya HP tersebut,memiliki fitur fitur yang
lengkap seperti mp3,double camera,3G, dual card,dan internet.Saya
tidak begitu heran ketika melihat ia memiliki HP seperti itu,Karena
memang ia adalah anak seorang juragan sapi yang terkenal kaya dikampung
itu.Namun saya sedikit khawatir ia tidak bisa menggunakan fitur fitur
yang disediakan HP tersebut.
Kekhawatiran
saya bukan tanpa alasan,karna Ia adalah tamatan madrasah Ibtidaiyyah
(setingkat SD),yang saya kira Ia tidak begitu mengerti mengenai fitur
fitur di HP tersebut.Akhirnya kekhawatiran saya terbukti,saat saya
memintanya untuk membuka fitur internet untuk mengakses akun facebook saya.Namun ia terlihat bingung dan seperti canggung,kemudian saya bertanya,”kenapa dul,kok kayak orang kebingungan gitu ?”Ia
menjawab “emmbb,maaf luq,q ga begitu ngerti tentang HP ini,belajar make
kameranya aja baru kemaren apalagi internet,3G atau apalah itu,q gak
ngerti blass”.Kemudian saya bertanya lagi,”Lalu kenapa beli HP mahal-mahal, klo gak bisa makenya ?”,Ia menjawab “Ya,buat gaya-gayaan aja biar kelihatan gaul gitu”.Mendengar
jawaban teman saya tadi,saya berfikir ,hanya karena untuk terlihat gaul
atau semacamnya,ia rela membeli HP semahal itu.
Dari
kasus diatas,kita bisa melihat adanya sebuah ironi yang terjadi di
masyarakat kita. Di zaman globalisasi seperti ini dimana berbagai macam
teknologi di ciptakan untuk mendukung dan membantu aktivitas manusia
semakin banyak dan semakin beragam. Untuk memperoleh barang-barang
tersebut juga bukan sebuah hal yang sulit. Dan dalam mengoperasikan
alat-alat berteknologi canggih tersebut kita di tuntut untuk memiliki
pengetahuan yang selalu up to date. Akan tetapi yang terjadi di
masyarakat belum semuanya mampu untuk mengoperasikan akan tetapi oleh
tuntutan untuk terlihat “gaul” seakan mengharuskan untuk memilikinya.
Dan saya yakin kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di kampung saya
akan tetapi di daerah lain juga terjadi hal-hal seperti ini meskipun
dalam bentuk lain.
Dalam teori culture lag disebutkan bahwa masyarakat
merupakan sebuah system yang terdiri dari bagian bagian yang senantiasa
mengalami perubahan. Akan tetapi setiap perubahan tidak selalu bersifat
serentak meliputi seluruh bagian. Keterlambatan satu bagian harus di
ikuti bagian lain.Culture lag menyebabkan elemen budaya berjalan lebih
lambat atau bahkan belum siap atau tidak memiliki jawaban yang memuaskan
terhadap perubahan pada elemen yang lain. Ketidak mampuan untuk
melakukan penyesuaian itu menyebabkan terjadinya cultural lag atau
ketertinggalan budaya.
Seharusnya
dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
dibarengi pula dengan pengetahuan untuk menggunakan teknologi
tersebut.Sehingga tujuan untuk mempermudah dan membantu hidup manusia
dapat tercapai.tidak semata mata untuk tujuan lain.
Mengacu
pada teori culture lag, contoh di atas setidaknya memberikan kita
gambaran,adanya kesenjangan budaya di masyarakat kita.Arus pengetahuan
teknologi informasi dan komunikasi di masyarakat perkotaan mungkin lebih
merata di bandingkan masyarakat pedesaan. Pada masyarakat kota ,
pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi cukup merata karena
didukung oleh berbagai macam aspek sedangkan di desa sepertinya terlihat
belum siap dan mampu untuk menerima perubahan itu. Sehingga ketidak
rataan ini menyebabkan terjadinya kesenjangan budaya.
Keadaan seperti ini,memang memprihatinkan namun jika terus dibiarkan
dan tidak diperhatikan maka akan menjadi masalah yang serius.Untuk itu
menjadi PR kita bersama agar mencari solusi yang tepat untuk
mengatasinya.sumber: http://budagponti.blogspot.com/2011/05/kesenjangan-budayasiapa-yang-harus.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar