Jangankan di antara dua nation
yang berbeda, antara sesama bangsa sendiri tidak kurang-kurang salah
paham, kesenjangan, jurang perbedaan menganga begitu lebar, hingga
terkadang menimbulkan konflik.
Apalagi dalam persoalan alih bahasa.
Bahasa
adalah lapis terluar dalam komunikasi antar bangsa. Di balik teks
adalah bangunan budaya yang terus menerus berproses dalam dinamika,
representasi luar teks yang mewakili waktu dan tempat budaya itu berada.
Masalahnya
dapat dipecahkan secara sederhana: untuk melakukan alih bahasa dengan
baik, khususnya pada naskah-naskah dengan muatan budaya yang dominan,
yang diperlukan adalah kepahaman. Sama halnya dengan lain-lain bidang:
kedokteran, matematika, keuangan, enjinering, dan lain-lain yang punya
retorika dan pilihan diksi /kosakatanya sendiri. Untuk itu penerjemah
harus cukup dibekali atau membekali diri dengan informasi tambahan
perihal pelik-pelik peristilahan, idiom, gaya, retorika, serta
elemen-elemen kultural yang terkandung pada naskah bahasa sumber.
Salah
satu contoh masalah kesenjangan budaya dalam penerjemahan diajukan
misalnya oleh Rochayah Machali dalam hal seksisme (isu jender).
Pada
kosakata-kosakata berikut, Anda bisa menilai sendiri mana yang lebih
dominan secara kultural dalam interaksi antar dua bahasa ini.
Inggris
|
Indonesia
|
Neighborhood Association
|
Rukun Tetangga
|
Community Association
|
Rukun Warga
|
County
|
Wilayah
|
Ceremonial meal
|
Selamatan
|
Thanksgiving Day
|
Hari Kesyukuran
|
Sack Race
|
Balap Karung
|
Father's Day
|
Hari Ayah
|
Mother's Day
|
Hari Ibu
|
Landlord
|
Bapak Kos
|
Valentine's Day
|
Hari Kasih Sayang
|
Street kids, hoodlums, civilian, private
|
Preman
|
Prop out in order to show respect to parents
|
Sungkeman
|
Concubinage
|
Kumpul Kebo
|
To make love
|
bercinta
|
Dari
beberapa contoh di atas nampak ada kesenjangan budaya sebagaimana
tampak pada kosakata, satu terhadap yang lain ada yang lebih berkuasa
(dominan).
Kalimat
"bercinta" dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari "to make
love" misalnya, sesungguhnya tidaklah memadai, kecuali jika pembaca
terjemahan "paham" dan "memakai" pikiran orang barat, bahwa bercinta di
sini mengandaikan adanya proses setubuh sepasang manusia yang berlawanan jenis. Orang sudah mafhum dan maklum bahwa "to make love" menurut orang barat adalah "to have a sexual intercourse."
Sebaliknya
istilah "pacaran" cukup sulit dicarikan padanannya dalam bahasa
Inggris. Dalam budaya Indonesia, maksudnya budaya orang kebanyakan,
pacaran berarti bermesra-mesraan, berkencan, pergi bareng, saling merasa
memiliki, kadang-kadang melakukan permainan seks (zina) namun tidak
dalam status suami istri. Setingkat di atas pacaran adalah kumpul kebo.
Umumnya orang Indonesia masih menolerir pacaran, namun menentang keras
kumpul kebo.
Singkatnya,
dalam hal "Valentine's Day" orang Indonesia adalah pengekor budaya
barat. Namun orang barat tidak punya kosakata yang pas buat
menerjemahkan kata "pacaran." Walaupun ada kata engagement, fiancee, boyfriend, girlfriend, yang memberi gambaran secara parsial akan makna kata dimaksud.
Kalau kita masuk lagi ke pedalaman kedua bahasa, yaitu bahasa percakapan sehari-hari (colloquial) dan logat populer (slang), maka kita akan menjumpai masalah budaya yang lebih banyak lagi.
Sejauh
ini untuk mencapai kepahaman dan kesepadanan dimaksud, ada beberapa
upaya yang dilakukan. Pertama, melalui jasa juru istilah (terminologist). Kedua,
lewat jalur sosialisasi. Musykilah-musykilah kebahasaan, dan khususnya
peristilahan, dilempar ke panel diskusi, seminar, milis, di mana para
pakar linguistik, akademisi, praktisi, penggelut (bisnis) bahasa dan
terjemahan urun rembug dan sumbang saran, sampai bertemu dengan padanan
yang ilmiah dan sedap didengar. Ketiga, lewat jasa dan penggodokan di
Pusat Bahasa. Keempat, sosialisasi opini kebahasaan lewat rubrik bahasa
di koran, majalah, radio dan televisi. Kelima, penambahan keterangan
pada kata hasil terjemahan. Orang misalnya tidak bisa serta merta
menyalin kata-kata: Reader Digest, Denzel Washington, Walmart,
secara apa adanya, melainkan: majalah Reader Digest, aktor Denzel
Washington, dan jaringan ritel Walmart.
Yang
perlu diingat, upaya adaptasi apapun yang ditempuh jangan sampai tidak
setia pada teks sumber. Adaptasi dan orientasi berlebih pada bahasa
sasaran dikuatirkan menjadi semacam kepura-puraan bahwa kesenjangan
budaya itu tidak pernah ada. Wallahu a'lam.sumber: http://swakata.blogspot.com/2013/02/kesenjangan-budaya-dalam-terjemahan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar