Minggu, 02 Juni 2013

Pengaruh Logat dan Dialek Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia

Dalam lingkup pekerjaan saya sebagai pegiat sosial di salah satu lembaga kemanusiaan, saya sering berpindah-pindah tempat tugas. Pertama kali bergabung dengan lembaga ini, saya ditugaskan ke suatu daerah di Nusa Tenggara Timur. Nama daerahnya adalah Pulau Alor. Pertama kali datang, saya yang dari Jakarta dengan Bahasa Indonesia bercampur lu gue sempat bingung dengan bahasa Indonesia ala Alor. Hampir semua kalimat tanya diakhiri dengan akhiran ko. Sebenarnya tidak tepat disebut akhiran namun saya tidak tahu tepatnya disebut apa. Contoh: “Mau ke pasar ko?” atau ketika setuju dengan sesuatu, maka dijawab, “Itu ko tidak”. Agak sulit memang menjelaskan logat dalam bentuk tulisan. Tapi buat pembaca yang pernah di bekerja atau mengunjungi NTT pastinya kenal betul dengan logat ini. Pulau Alor dikenal memiliki lebih dari 600 bahasa. Padahal luas pulaunya tidak seberapa besar dibanding pulau Bali atau Lombok misalnya. Karena banyaknya bahasa daerah di pulau ini maka penggunaan Bahasa Indonesia menjadi sangat penting supaya masyarakat di tempat yang satu bisa mengerti apa yang dimaksud masyarakat di tempat lain. Itu baru soal akhiran. Belum lagi kalau bicara kata ganti orang. Di Alor, kata ganti orang pertama bisa bermacam-macam. Bisa “Beta” atau disingkat dengan “Be” saja. Contoh: “begitu be pung mau” (arti: itu maksud saya).
Setelah dari Alor maka sayapun ditugaskan ke Papua. Tepatnya di pegunungan tengah di satu kota yang bernama Wamena. Di sini pengaruh logat dan bahasa daerah juga sangat kental. Kalau di Alor ada akhiran ko maka di Wamena hampir semua kalimat tanya diakhiri dengan akhiran kah. Contoh: “Iyo kah?” ketika ingin memastikan sesuatu. Atau, “Ko pu bapa itu ada di rumah kah?” (arti: ayahmu ada?).
“Saya” di Wamena biasanya disingkat dengan “Sa”. Contoh: “Begitu yang sa maksud..” (arti: itu maksud saya). Atau jika tidak disingkat “Sa” maka ada kata ganti bahasa daerah yang digunakan sebagai pengganti “Saya” yaitu “An”. Dalam keseharian bahasa dan logat daerah terlalu sering bercampur dengan bahasa Indonesia. Kalau kita naik sedikit ke atas. Naik ke atas di sini maksudnya ke wilayah utara yaitu di wilayah Jayapura, maka kata ganti orang bisa lebih banyak lagi. Kata ganti orang pertama (mungkin kalau saya salah, pembaca lain bisa mengoreksi) bisa Kitong atau Kitorang atau bisa juga disingkat Tong atau Torang saja. Buat yang belum terbiasa rasanya pasti aneh ketika mengucapkannya pertama kali. Coba bayangkan kalau pengucapannya menggunakan logat Batak misalnya.
Dengan berbekal dua pengaruh bahasa daerah tersebut, saya pun akhirnya ditugaskan ke Surabaya. Bisa dibayangkan, saya yang sudah sekitar 2 tahun di Alor ditambah 6 tahun di Wamena, terbiasa menggunakan logat dan dialek yang hampir sama sekarang harus berhadapan sehari-hari menggunakan dialek Jawa Timur-an di Surabaya ini. Awalnya kacau. Saya masih saja menggunakan akhiran kah dan toh yang kadang membuat lawan bicara kebingungan. Kalau sudah bingung biasanya lawan bicara saya yang kebanyakan ibu-ibu atau mbok-mbok yang ada di pasar (karena mau tidak mau saya harus berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar dekat kompleks perumahan) cuma bisa bilang, “Sampeyan ini ngomong opo?” dengan logat Jawa yang khas sambil dahinya sedikit mengernyit.
Ini baru pengalaman saya. Saya yakin pasti banyak orang lain yang sering berpindah-pindah tugas juga seperti saya yang mungkin pada masa-masa awal tinggal di daerah baru merasa sulit menyesuaikan bahasa sehari-hari dengan kondisi di tempat yang baru tersebut. Namun justru di situlah letak kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Walau dalam penggunaan sehari-hari masih terasa logat atau dialek bahasa daerah. dan kadang malah ada sisipan kata bahasa daerahnya, tetap terasa bahwa memang bahasa Indonesia itu yang penggunaannya masih tidak sempurna, itulah bahasa pemersatu kita. Bahasa yang dikenal dari Sabang sampai Merauke. Bahasa yang masih saja terus berkembang dengan masuknya istilah-istilah baru baik itu istilah asing atau istilah bahasa daerah yang di-Indonesiakan.
Wuess sampeyan jangan malu menggunakan bahasa Indonesia! Mau tidak sempurna dari sisi logat atau dialek, biar saja toh.. Yang penting kitong mengerti dan torang semua suka!

 http://bahasa.kompasiana.com/2012/08/27/pengaruh-logat-dan-dialek-bahasa-daerah-ke-dalam-bahasa-indonesia-489011.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar