Minggu, 02 Juni 2013

Kesenjangan Budaya dalam Terjemahan

Jangankan di antara dua nation yang berbeda, antara sesama bangsa sendiri tidak kurang-kurang salah paham, kesenjangan, jurang perbedaan menganga begitu lebar, hingga terkadang menimbulkan konflik.
Apalagi dalam persoalan alih bahasa.
Bahasa adalah lapis terluar dalam komunikasi antar bangsa. Di balik teks adalah bangunan budaya yang terus menerus berproses dalam dinamika, representasi luar teks yang mewakili waktu dan tempat budaya itu berada.
Masalahnya dapat dipecahkan secara sederhana: untuk melakukan alih bahasa dengan baik, khususnya pada naskah-naskah dengan muatan budaya yang dominan, yang diperlukan adalah kepahaman. Sama halnya dengan lain-lain bidang: kedokteran, matematika, keuangan, enjinering, dan lain-lain yang punya retorika dan pilihan diksi /kosakatanya sendiri. Untuk itu penerjemah harus cukup dibekali atau membekali diri dengan informasi tambahan perihal pelik-pelik peristilahan, idiom, gaya, retorika, serta elemen-elemen kultural yang terkandung pada naskah bahasa sumber.
Salah satu contoh masalah kesenjangan budaya dalam penerjemahan diajukan misalnya oleh Rochayah Machali dalam hal seksisme (isu jender).
Pada kosakata-kosakata berikut, Anda bisa menilai sendiri mana yang lebih dominan secara kultural dalam interaksi antar dua bahasa ini.
Inggris
Indonesia
Neighborhood Association
Rukun Tetangga
Community Association
Rukun Warga
County
Wilayah
Ceremonial meal
Selamatan
Thanksgiving Day
Hari Kesyukuran
Sack Race
Balap Karung
Father's Day
Hari Ayah
Mother's Day
Hari Ibu
Landlord
Bapak Kos
Valentine's Day
Hari Kasih Sayang
Street kids, hoodlums, civilian, private
Preman
Prop out in order to show respect to parents
Sungkeman
Concubinage
Kumpul Kebo
To make love
bercinta

Dari beberapa contoh di atas nampak ada kesenjangan budaya sebagaimana tampak pada kosakata, satu terhadap yang lain ada yang lebih berkuasa (dominan).
Kalimat "bercinta" dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari "to make love" misalnya, sesungguhnya tidaklah memadai, kecuali jika pembaca terjemahan "paham" dan "memakai" pikiran orang barat, bahwa bercinta di sini mengandaikan adanya proses setubuh sepasang manusia  yang berlawanan jenis. Orang sudah mafhum dan maklum bahwa "to make love" menurut orang barat adalah "to have a sexual intercourse."
Sebaliknya istilah "pacaran" cukup sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Inggris. Dalam budaya Indonesia, maksudnya budaya orang kebanyakan, pacaran berarti bermesra-mesraan, berkencan, pergi bareng, saling merasa memiliki, kadang-kadang melakukan permainan seks (zina) namun tidak dalam status suami istri. Setingkat di atas pacaran adalah kumpul kebo. Umumnya orang Indonesia masih menolerir pacaran, namun menentang keras kumpul kebo. 
Singkatnya, dalam hal "Valentine's Day" orang Indonesia adalah pengekor budaya barat. Namun orang barat tidak punya kosakata yang pas buat menerjemahkan kata "pacaran." Walaupun ada kata engagement, fiancee, boyfriend, girlfriend, yang memberi gambaran secara parsial akan makna kata dimaksud.
Kalau kita masuk lagi ke pedalaman kedua bahasa, yaitu bahasa percakapan sehari-hari (colloquial) dan logat populer (slang), maka kita akan menjumpai masalah budaya yang lebih banyak lagi.  
Sejauh ini untuk mencapai kepahaman dan kesepadanan dimaksud, ada beberapa upaya yang dilakukan. Pertama, melalui jasa juru istilah (terminologist). Kedua, lewat jalur sosialisasi. Musykilah-musykilah kebahasaan, dan khususnya peristilahan, dilempar ke panel diskusi, seminar, milis, di mana para pakar linguistik, akademisi, praktisi, penggelut (bisnis) bahasa dan terjemahan urun rembug dan sumbang saran, sampai bertemu dengan padanan yang ilmiah dan sedap didengar. Ketiga, lewat jasa dan penggodokan di Pusat Bahasa. Keempat, sosialisasi opini kebahasaan lewat rubrik bahasa di koran, majalah, radio dan televisi. Kelima, penambahan keterangan pada kata hasil terjemahan. Orang misalnya tidak bisa serta merta menyalin kata-kata: Reader Digest, Denzel Washington, Walmart, secara apa adanya, melainkan: majalah Reader Digest, aktor Denzel Washington, dan jaringan ritel Walmart.
Yang perlu diingat, upaya adaptasi apapun yang ditempuh jangan sampai tidak setia pada teks sumber. Adaptasi dan orientasi berlebih pada bahasa sasaran dikuatirkan menjadi semacam kepura-puraan bahwa kesenjangan budaya itu tidak pernah ada. Wallahu a'lam.

sumber: http://swakata.blogspot.com/2013/02/kesenjangan-budaya-dalam-terjemahan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar